Between Silence and Eloquence: The Story of an Unforgettable Encounter
Ini adalah kisah tentang seorang pria yang datang dalam hidupku beberapa waktu yang lalu. Namanya Arga, tentu bukan nama aslinya. Nama aslinya panjang, memiliki lebih dari 26 alphabet didalamnya. Dia membawa pesona yang tak dapat diabaikan. Ruang percakapannya seluas samudera, sementara sifatnya yang begitu ekstrovert berbanding terbalik dengan jiwa introvertku. Aku merasa lebih bahagia dalam mendengar daripada berbicara, sementara dia tampak begitu cerdas dalam meracau. Dia terbuka dengan segala yang ada, mulai dari hal-hal sederhana hingga ranah yang sangat pribadi. Dia bercerita tentang setiap momen harinya, pekerjaannya yang menghiasi waktu, kisah tentang keluarganya yang sejuk, hingga rencananya yang semuanya menggoda telinga. Aku menyambutnya dengan hati terbuka, tak peduli betapa terbatas dan sederhana respons yang kutampilkan. Sejujurnya, aku sering kali kebingungan dalam usaha untuk menuangkan reaksi-reaksi dalam kata-kata. Bagiku, lebih baik menjadi pendengar atau pembaca daripada menjadi narator, sebab hariku tidak selalu menarik.
Kami telah bersama-sama menjalani banyak moment, dengan jumlah hari yang tak terhitung.
Saat itu, aku telah memiliki kekasih, namun hubunganku dengan Arga tetap dekat. Arga tetap menjadi sahabat yang menemani setiap hariku, dengan sentuhan manis cemburuan yang membuatnya begitu berharga, dan aku sangat menikmatinya. Terkadang, aku menceritakan tentang kekasihku, dan Arga mungkin membacanya dengan perasaan campur aduk, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang berkecamuk di dalam hatinya.
Arga adalah penyuka makanan manis dan selalu makan ayam pak Gembus di kosnya. Ulang tahunnya jatuh di bulan Juli, meskipun aku tak akan menyebutkan tanggal dan tahunnya di sini. Terkadang, dia benci terhadap pekerjaannya, namun ia bijak untuk tidak dengan seenaknya mengundurkan diri. Dia punya teman sejawat yang sangat menjengkelkan, dan aku mendengar hasratnya untuk memberikan tamparan pada orang itu, bahkan aku mendukungnya untuk segera melakukannya. Bagi Arga, keluarganya di Jogja adalah segalanya; ibunya menjalankan usaha makanan kecil di sana. Pernah suatu ketika, di Stasiun Manggarai, Arga mengalami peristiwa tak menyenangkan ketika dicopet dan kehilangan ponselnya. Dia juga sering kali mengajukan pertanyaan tentang dunia fashion kepadaku, bahkan meminta saran mengenai outfit apa yang harus dia beli.
Aku mengetahui begitu banyak hal tentang Arga, dan semuanya masih jelas terpatri dalam ingatanku. Namun, dari semua hari yang telah kami lewati, ada satu hal yang tak bisa aku ungkapkan dengan jujur, bahkan melalui tulisan ini. Hal itu memaksa aku untuk menjauh darimu. Yang terakhir kali aku lakukan adalah membaca pesan ulang tahunmu, lalu aku menghilang begitu saja. Bagiku, itu seperti asap yang lenyap, terserap oleh angin. Aku tak sempat meminta maaf atas perbuatan burukku yang mungkin telah menyakiti hatimu, dan meskipun aku berharap kamu bisa memaafkanku, aku tak berani untuk mengatakannya secara langsung. Aku merasa bodoh.
Untukmu, Arga, aku berharap kehidupanmu akan berjalan dengan baik setelah aku pergi. Aku yakin kamu akan baik-baik saja, kamu kuat, dan kamu akan mengatasi semuanya. Aku berharap kamu akan menemukan pekerjaan yang lebih baik dari yang kamu miliki saat ini, dan itu akan membawa kamu ke arah yang lebih baik. Semoga semua impian dan harapanmu akan terwujud. Aku mendoakan semua itu dari tempat ini. Terima kasih telah hadir dalam hidupku, sekalipun hanya sesaat. Selamat tinggal, Arga. :)